SOLIDARITAS UNTUK PAPUA
Rezim Fasis Boneka Susilo Bambang Yudhoyono antek Imperialis Amerika pada awal masa jabatannya pada periode pertama pernah menyampaikan akan menyelesaikan masalah Papua secara “mendasar, menyeluruh, dan bermartabat”. Niat SBY itu, terasa kian menjauh setelah periode ke-dua SBY menjabat sebagai orang nomor 1 di Indonesia, jika kita menyimak apa yang kini terjadi di Papua, khususnya mengenai pemberlakuan Status Dearah Operasi Militer (DOM) atau Kebijakan Bumi Hangus di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya – Papua, yang dibuat melalui kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Puncak Jaya, Pangdam XVII Trikora dan Polda Papua pada bulan Mei 2010. Dalam kesepakatan antara Pemda Puncak Jaya, Pangdan XVII/Trikora dan Polda Papua meminta agar semua warga massa rakyat setempat dan pemimpin gereja, termasuk perempuan, pemuda, anak-anak, pemimpin tradisional dan kepala desa segera keluar dari wilayah Distrik Tingginambut paling lambat antara 27 – 28 Juni 2010. Hal ini membuktikan semakin fasis-nya rezim dan menunjukan watak klas penguasa hari ini yang anti-Rakyat dan selalu bersembunyi di balik slogan Demokrasi dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).
Tanggal terakhir bagi pengosongan wilayah Distrik Tingginambut adalah 28 Juni 2010, karena setelah tanggal tersebut Kabupaten Puncak Jaya akan menjadi Daerah Operasi Militer (DOM) di mana alat reaksioner negara (TNI dan Polr) akan melakukan operasi sapu bersih/sweeping di desa-desa, hutan dan bahkan gua. Pengumuman yang dikeluarkan ini sangat keras yang dilakukan oleh alat reaksioner negara (TNI dan Polri) menyatakan bahwa setelah 28 Juni 2010, setiap orang yang masih berada di daerah tersebut akan tewas dalam sebuah “Kebijakan Bumi Hangus”. Alat reaksioner negara (TNI dan Polri) akan mengambil tindakan brutal. Mereka tidak akan memperhatikan Hak Asasi Manusia (HAM) dan akan membunuh tanpa pandang bulu. Sebagai bukti dari fakta ini, bahkan sebelum operasi ini dimulai, dua bulan sebelumnya, tepatnya pada hari Rabu 17 Maret 2010, Pdt. Kindeman Gire ditembak mati oleh TNI dari kesatuan 756 di Distrik Ilu. Kindeman adalah seorang Gembala Sidang Gereja GIDI Toragi Distrik Tingginambut. Korban atas nama Pdt. Kindeman Gire ditembak dengan senjata 2 kali, sejak tanggal ditembak itulah sampai hari ini belum ditemukan jasat korban. Kecurigaan besar keluarga korban adalah kemungkinan TNI memultilasi (memotong-motong) tubuh korban kemudian dimasukan kedalam karung lalu membuangnya di Sungai Tinggin atau di Sungai Yamo bahkan mungkin di sungai Guragi ataukah mungkin mereka kuburkan. Selain itu Gereja GIDI di Yogorini, Pilia, Yarmukum telah dibakar habis oleh alat reaksioner negara (TNI dan Polri). Gereja GIDI di Yarmukum adalah sebuah gereja yang baru dibangun dengan kapasitas 500 tempat duduk, yang belum resmi dibuka.
Pada tanggal yang sama yaitu 17 Maret 2010 malam, TNI terus beroperasi dari arah Desa Kalome menuju di ibu kota Distrik Tingginambut, di daerah tersebut terdapat sebuah rumah Honai (rumah adat Papua) yang mana berada sekelompok massa rakyat yang sedang tertidur lalu mereka dikepung oleh anggota TNI yang sama setelah menembak mati Pdt. Kindeman Gire pada jam 5 sore hari kemarinya dan pada pagi jam 05.00 subuh hari, Kamis Tanggal 18 Maret 2010 TNI mengepung sejumlah warga yang ada dalam satu honai itu berjumlah 13 orang. Tidak ada satupun yang lolos semuanya tertangkap lalu penyiksaan dilakukan oleh TNI. Penyiksaan yang dialami ke 13 korban sangat berat dan bahkan lebih buruk dan banyak dari mereka tinggal menungguh waktu untuk mati karena hantaman bokong senjata dan tusukan pisau sangkur. Ke 13 nama korban tersebut adalah Garundinggen Morib (45 Thn), Ijokone Tabuni (35 Thn), Etiles Tabuni (24 Thn), Meiles Wonda (30 Thn), Jigunggup Tabuni (46 Thn), Nekiler Tabuni (25 Thn), Biru Tabuni (51 Thn sedang sakit parah), Tiraik Morib (29 Thn), Yakiler Wonda (34 Thn), Tekius Wonda (20 Thn), Neriton Wonda (19 Thn), Yuli Wonda (23 Thn), dan Kotoran Tabuni (42 Thn). Sampai hari ini kondisi mereka sangat memprihatinkan. Serta hingga hari ini sulit mendapatkan gambar karena memang kondisi kontrol alat reaksioner negara (TNI maupun Polri) terhadap segala akses informasi yang masuk dan keluar dari Kabupaten Puncak Jaya.
Selanjutnya pembantaian terhadap warga sipil tidak berdosa terus berlanjut, tepatnya pukul 16.00 hingga 21.00 pada hari Senin tanggal 23 Maret 2010, TNI dari Kesatuan Yonif 753 yang bertugas di Pos Puncak Senyum Distrik Mulia Ibu Kota Kabupaten Puncak Jaya melakukan operasi sapu bersih terhadap warga massa rakyat yang bermukim disekitar Desa Wondenggobak. Akibat tembakan membabi buta ini, mengakibatkan Enditi Tabuni seorang anak mantu dari Pdt. Yason Wonda, Wakil Ketua Klasis GIDI Mulia tertembak hingga mati dan tembakan membabi buta itu mengenai seorang ibu rumah tangga yang sedang tidur hingga peluru bersarang di lututnya, mengakibatkan korban harus di larikan ke rumah sakit umum Jayapura karena kesulitan melakukan operasi di rumah sakit umum Mulia, Puncak Jaya. Kemungkinan korban akan sembuh, kalau tidak kakinya harus diamputasi dan kemungkinan terburuk korban akan meninggal dunia. Itulah wajah, karakter dan model alat reaksioner negara (TNI dan Polri) yang bermental pengecut sehingga perempaun pun ditembak atau dibantai secara tidak manusiawi.
Hingga saat ini belum terdata secara pasti berapa jumlah korban jiwa dan material yang berjatuhan karena begitu ketatnya kontrol akses informasi yang dilakukan oleh alat reaksioner negara (TNI dan Polri). Dan pengungsian ratusan hingga ribuan massa rakyat Papua dari Distrik Tinginambut tersebut sejak kemarin 07 Juni 2010 telah masuk di Wilayah Kabupaten Jayawijaya – Wamena dan diperkirakan pengungsian lain akan menyusul. Selain itu pengungsian dari Distrik Tinginambut tersebut juga telah masuk di beberapa daerah seperti : Ilaga, Sinak, Kuyawagi, Ilu dan beberapa Kabupaten di Pegunungan Papua. Selain itu tenda-tenda pengungsian yang telah memasuki Kecamatan Wunineri Kabupaten Tolikara dilarang didirikan tanpa alasan yang jelas oleh Militer. Alat reaksioner negara dari gabungan kesatuan TNI AD, TNI AU, TNI AL dan Polri (Brimob) telah menguasai hampir seluruh pelosok dan kota Kabupaten Puncak Jaya, bahkan kendali pemerintahan sepenuhnya dikuasai oleh alat reaksioner negara (TNI dan Polri). Hingga saat ini tindakan pembakaran terhadap rumah-rumah warga massa Rakyat, Gereja, penembakan ternak, penelanjangan terhadap perempuan dan intimidasi terhadap massa rakyat Papua terus berlanjut.
Dengan banyaknya korban jiwa dan material yang terus berjatuhan dan tindakan kekerasan yang terus dilakukan oleh alat reaksioner negara (TNI/Polri) terhadap warga sipil tidak berdosa hingga hari ini di Puncak Jaya, Papua, maka kami dari Solidaritas Untuk Papua (SUP) menuntut dan mendesak rezim fasis SBY-Budiono untuk segera :
1. Cabut status Daerah Operasi Militer (DOM) dan Kebijakan Bumi Hangus dari Tingginambut, Puncak Jaya-Papua paling lambat tanggal 26 Juni 2010;
2. KOMNAS HAM segera menyelidiki kasus Kekerasan Militer di Tingginambut, Puncak Jaya-Papua;
3. Hentikan dan Tarik Pengiriman Militer Organik dan Non-Organik ke Puncak Jaya dan seluruh Papua;
4. Hentikan Intimidasi dan Kekerasan Militer di Puncak Jaya dan seluruh Papua.
Demikian statement solidaritas ini kami buat, jika tuntutan kami tidak segera di penuhi oleh rezim hari ini, maka kami akan mengalang solidaritas yang seluas-luasnya untuk mendesak pencabutan status Dearah Operasi Militer (DOM) atau ‘Kebijakan Bumi Hangus” di Distrik Tingginambut, Puncak Jaya – Papua.
Yogyakarta, 21 Juni 2010
Koordinator Umum
Leksi Degei
Tidak ada komentar:
Posting Komentar